Trauma bonding: Korban Kekerasan Tetap Bertahan dengan pasangan

Panoramic Banten. Tidak semua korban kekerasan dalam hubungan memilih pergi. Di banyak kasus, korban tetap bertahan meski mengalami kekerasan verbal, emosional, hingga fisik. Ikatan yang terbentuk antara korban dan pelaku sering kali begitu kuat, meski dilandasi oleh siklus kekerasan yang terus berulang.
Fenomena ini dikenal sebagai trauma bonding, kondisi psikologis di mana korban justru semakin terikat setelah mengalami kekerasan. Harapan akan perubahan, ketakutan ditinggalkan, rasa bersalah, dan tekanan sosial menjadi penyebab korban sulit melepaskan diri.
Kondisi ini diperparah oleh norma dan budaya masyarakat yang kerap menyalahkan korban atau menyarankan untuk “bersabar”. Akibatnya, korban merasa sendirian dan tidak memiliki pilihan selain bertahan dalam hubungan yang menyakitkan.
Beberapa korban juga mengalami ketergantungan ekonomi dan emosional terhadap pasangannya. Selain itu, minimnya akses terhadap layanan pendampingan atau dukungan keluarga turut memperkuat keputusan untuk tetap tinggal.
Meski demikian, upaya perlindungan dan pemulihan tetap tersedia. Lembaga layanan masyarakat, konselor, dan organisasi advokasi perempuan menyediakan ruang aman serta bantuan psikologis bagi korban yang ingin keluar dari lingkaran kekerasan.
Meninggalkan hubungan toksik bukan proses yang mudah. Namun, kesadaran akan hak atas rasa aman dan bahagia bisa menjadi langkah awal untuk memutus rantai kekerasan dan kembali membangun kehidupan yang sehat.